Rabu, 10 Februari 2016


Rakutak, 4-5 Januari 2016


Entah   kenapa pendakian kali ini rasanya berat,berat  aja,seakan kaki enggan untuk melangkah,tapi karena kita udah setuju kalo acara GO UP Wanarana kali ini di adakan  besok ,mau gak mau akhirnya baru jam delapan  malam  baru deh  aku prepare buat perlengkapan pendakian. Mungkin hari itu pikiranku terbelah banyak ,ya mikirin kerjaan, keluarga dan lain sebagainya, atau mungkin aku sebelumnya  terlalu banyak ngeliat blog yang isinya mistis semua tentang gunung ini, tapi kalo dipikirin doang gak bisa jadi apa apa,yang ada kita nya yang harus mencoba.


                Setelah mandi dan sholat subuh  yang adalah berdoa untuk diberikan  kekuatan  dan keselamatan buat acara pendakian kali ini, setelahnya langsung ke sekolah buat ngecek  seluruh team dan memastikan in gak ada peralatan yang ketinggalan. Walaupun telat setengah jam dari jadwal semula,akhirnya jam enam pagi kita berangkat dari sekolah, oya hari ini ranselku kok terasa berat ya (mungkin aku  terlalu prepare, sehingga segala macem barang dibawa semua,tapi itulah aku,lebih baik  prepare banget daripada harus menderita di atas gunung yang  notabene aku cuma  tau dari blog dan video yang aku download di youtube). Dari depan sekolah alhamdulillah langsung dapat angkot, senengnya lagi si angkot mau nganterin kita langsung ke Ciparay, karena waktu itu hari senin yang pastinya kita hanya terjebak kemacetan dan pemandangan  yang terlihat adalah segala kesemerawutan jalan dan bikin ilfill dan alhasil baru nyampe terminal ciparay jam delapan an. Sebenernya dari blog-blog yang sudah aku baca kalo dari terminal ciparay mereka bilang tinggal naik angkutan yang gak ada nomernya, gak ada bacaan trayeknya, dan angkotnya berwarna kuning, okay warna kuning ya, dengan pede nya pun kita naik, baru nyadar pas di atas angkot ternyata angkutan disitu warna kuning semua, dan ditambah ternyata si sopir gak tau letak desa sukarame dan bahkan gak tau tentang gunung rakutak itu dimana?, alhasil selama  di angkot yang ada bukan  menikmati  jalan, tapi bingung harus ngapain hehehe. Dan akhirnya kita pun terdampar di terminal Majalaya, sambil istirahat kita sempatkan buat makan batagor di depan masjid Majalaya, oya disini kita kedatangan tamu, se ekor belalang sembah yang tiba tiba nemplok di mulut salah satu anggota team (semoga jadi pertanda baik hahaha). Akhirnya aku putuskan buat nelpon pos pendakian, ”Hallo dengan pos pendakian rakutak”?, ”oh maaf salah sambung”, ya elahhh, untungnya ada nomer satu lagi yang bisa dihubungi, namanya kang Ridho, bahkan beliau mau ngejemput kita  di Majalaya, Alhamdulillah lega rasanya. Setelah kang Ridho datang otomatis kita dicariin dan di nego in angkot (makasih ya kang :D). Ternyata dari terminal Majalaya plus karena kita mesti balik arah lagi otomatis perjalanan jadi lama lagi donk, sekitar 45 menitan baru deh nyampe yang namanya desa Sukarame (tapi disini penulis gak setuju,kayaknya nama yang cocok adalah Sukapusing:D). Nyampe Himpala Tapak Rakutak sekitar jam sepuluh  an, disitu lagi banyak banget anggota Himpala rakutak yang sedang ngumpul,maklumlah karena 3 hari sebelumnya mereka baru beres mengadakan event penghijauan, yap mereka menanam seribu bibit pohon di puncak Rakutak (keren banget ). Setelah bayar administrasi seadanya,ngisi  ngisi data pendaki, dan diberikan tentang alur tracknya kita pun diberi sticker, peta, piagam, bibit pohon dan di anter sama salah satu anggota sampai pinggir desa,waktu itu sudah sekitar jam 10.30, udah terlalu siang , sangat melenceng dari jadwal yang sudah kita tentukan.


                Baru sepuluh menit jalan kok rasanya lemas ya,mungkin karena tanahnya basah dan mulai menanjak,diputuskan lah untuk  break di  sebuah kandang sapi milik warga, sambil nge repack dan sarapan pagi. Perjalanan ke pos satu ini masih terbilang banyak bonusnya, ladang penduduk, aliran sungai, kebun bambu dan ladang kopi (iya ladang kopi, bukan teh, tapi seneng juga bisa liat kebun kopi yang luas) tapi sayang selama perjalanan kita diberikan cuaca yang tidak  bersahabat, gerimis sepanjang hari, bahkan dari bawah puncak gunungnya pun tidak terlihat karena tertutup kabut. Sekitar  jam 13.30 an kita break lagi di tengah ladang kopi buat sholat dzuhur, membuat mie instan dan membuka bekal makanan  di tengah ladang ditemani gerimis membuat perut sedikit terasa terisi kembali dengan energi. Baru sekitar 30 menit dari break pertama kita langsung di sajikan  tanjakan yang kurang lebih panjangnya cuma sekitar 30 meter an, tapi kemiringannya itu lho yang akan membuat orang   ngomel ngomel  dan pengen pulang lagi ke Bandung ha ha ha, iya, tanjakan  sadis tanah gembur yang  licin dan di kiri kanan nya tidak  dikasih pegangan sama sekali. Setelah 30 menit berjuang sampailah kita di atas dan langsung dikasih kado pos satu ini,di situ terdapat sebuah saung kecil dan saluran air, tapi point pentingnya   dari pos satu ini kita udah bisa pemandangan yang super keren, kota Ciparay terlihat sangat kecil diantara jajaran pegunungan Bandung selatan, langit yang temaram dan kabut putih tipis menjadi pelengkap pemandangan sore itu, walaupun belum sampai puncak tapi rasanya kita sudah bahagia saat itu bahkan seakan kita gak mau  ninggalin pos satu  ini, awan awan kecil yang  “terbang” di sekitar kita membuat hati setiap orang serasa melayang seakan di nirwana.


                Setelah berdiskusi sebentar dan ngambil voting karena salah satu anggota team lagi sakit akhirnya kita tetap dengan target kita untuk ngecamp di puncak dua (walaupun dalam hati dipenuhi oleh sejuta tanya, ”dimana puncak dua  nya?, berapa lama?, puncak dua nya aja gak keliatan? khasanah sanggup gak ya,kan lagi sakit?), bismillah aja deh,perjalanan dilanjutkan. Awalnya track perjalanan  sih  masih bisa di bilang setandar, jalan setapak single track di antara tanaman hutan, tapi mendadak semuanya diam, kita lagi lagi diberi surprise,di depan ada  tanjakan super sadis dengan kemiringan yang entah berapa derajat  (ya eyalah, kita kan gak mungkin bawa bawa busur derajat ke gunung, lagian kan ini acara hiking bukan les matematika), dari sini semuanya di mulai, menjaga keseimbangan,menahan berat tas carierr, mencari pijakan, berpegangan pada akar pohon, cara apapun semuanya dilakukan untuk mencapai puncak. Alam memang mengajarkan kita bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu memang tidak gampang, membutuhkan perjuangan keras  dan mental yang kuat untuk bertahan  dari segala macam keadaan. Kaki dan pundak  bisa lelah, tapi hati tidak, kalimat “puncak” sudah menjadi harga mati, selesaikan target hari ini atau kita akan semakin melenceng dan ngecamp ditengah hutan gelap yang “geje”ini, memoriku sedikit flashback waktu naik ketika pendakian ke  gunung Manglayang, jam 12 malem, gelap, gerimis dan memaksa kita harus ngecamp ditengah jalan, enggak ,aku tidak mau terulang lagi, kita harus melawan kelelahan kita, memotivasi diri, dan ngepress kemampuan kita  sampai benar benar pada batasnya.


                Setelah tiga jam- an, aku liat anak anak sedang pada istirahat, aku pikir ini puncak dua  nya, tapi ternyata tidak, kita ternyata baru sampai yang bernama  Tegal Alun alias pos bayangan sebelum  puncak dua, rasa lelah, kesal, penasaran menjadi satu (“mana puncak II nya?”). Tegal Alun hanya sebuah tempat  ngecamp yang cuma bisa menampung sekitar enam tenda , dikelilingi pohon besar dan berkabut pula, gak enak banget suasananya (lagi lagi teringat beberapa tulisan di blog yang nyeritain beberapa kejadian mistis Tegal Alun ini). Waktu itu udah jam setengah enam sore, jadwal udah berantakan, kondisnya sudah lelah semuanya, tapi kalo ngecamp di sini kita pun gak tau apa yang terjadi, tapi logikanya benar benar gak ada yang bisa dilihat dari camp Tegal Alun ini. Alhamdulillah nya  ada sms dari Himpala Rakutak, mereka nanyain kita sudah samapai dimana, dan senangnya mereka ngasih tau kalau dari Tegal Alun ke puncak dua waktunya sekitar tiga puluh  menit an, entah benar apa tidaknya tapi kalimat  “tiga puluh  menit- an” itu seperti pemantik api yang bisa menyemangati kita  biar bisa melanjutkan perjalanan lagi. Tapi lagi lagi ternyata didepan sudah menanti lagi sebuah tanjakan sadis lagi,fiuhh,”bisa,bisa,bisa!!”kalimat itu yang harus ada di kepala ku, tapi ternyata sore itu alam juga memberikan semangat , awan jingga  berada di batas cakrawala, cahaya temaram  senja terlihat diantara rimbunnya pepohonan, hening, sepi tapi membuat semangat kita berlipat ganda untuk menuju puncak di atas sana.


                Tepat ketika magrib alhamdulillah kita sampai di pos dua, adzan pun dikumandangkan di sana,rasa lelah dan penasaran pun terbayarkan sudah. Pemandangan di puncak dua ini sangat menawan,di sebelah kanan terlihat jembatan sirathalmustaqim dan Puncak Utama Rakutak, di sebelah kiri terlihat siluet gunung Galungung gagah berdiri ,di depan terlihat kota Ciparay  semakin kecil tersembunyi di antara awan kelabu,dan di belakang terlihat asap tipis menjulang dari kawah kamojang dan juga terlihat gunung Cikuray, gunung yang menjadi imaji dan mungkin suatu saat akan kita daki. Malam itu tak banyak aktivitas yang dilakukan, mungkin rasa lelah dan pegal yang membuat kami ingin segera segera merebahkan tubuh kami di dalam tenda. Tapi sebelumnya kami sempatkan buat masak makan malam, mie instan dan juga jahe manis panas jadi menu malam ini, minuman ini  entah sudah beberapa kali aku bawa ketika mendaki gunung, manis nya menambah tenaga dan jahenya mampu menghilangkan dingin malam dan masuk angin. Tapi disela sela tidurku aku sempatkan untuk menyempatkan  melihat keluar, kurang lebih jam sepuluh  an,tiba tiba awan menghilang  dan menggantikannya dengan ribuan lampu lampu kecil yang terhampar bagai permadani,sang bintang pun akhirnya menemani kita malam itu,cahaya lembutnya membuat  kita selalu terlena,dan imaji pun menggeliat melintas batas entah kemana,cause youre sky cause youre sky full of stars,im gonna give you my heart….


                Setelah sholat subhuh,walaupun badan masih terasa pegal kuputuskan untuk memulai ‘ritual”ku setiap pagi,kopi hitam dan rokok akhirnya lagi lagi menemaniku pagi itu dan  aku sangat menikmati moment moment seperti ini, larut dalam kesendirian. Masih ada tersisa beberapa bintang di ufuk sana sebelum sang surya menggantikannya di timur, langit pun kembali menyajikan warna favoritku, orange jingga kemerahan yang bertransformasi menjadi biru, dan setiap perubahan warnanya begitu mempesona dan membuatku enggan untuk beranjak. Pagi itu kita pun sarapan dengan sangat mewah, mie instan, telur, sosis, nugget kita masak semuanya  karena kita setuju bahwa hari ini kita langsung pulang dan gak berniat untuk extend satu malam lagi di danau Ciharus. Setelahnya kita prepare lagi buat perjalanan pulang.Banyak yang bilang bahwa  naik gunung adalah aktivitas yang kurang kerjaan, bawa bawa carier berat, liat bintang di puncak,selfie dengan sunrise lalu pulang lagi, tapi bukan itu point pentingnya, bagiku setiap perjalanan merupakan suatu bentuk metamorphosa dari hati melalui kaki dan akhirnya dari ribuan langkah kaki itu akan terhenti pada satu tempat dimana kita akan senantiasa mensyukuri dan menghargai  ribuan jejak jejak langkah yang tertinggal jauh disana.



                Puncak utama rakutak sudah di depan mata,untuk menuju kesana orang bilang harus melewati jembatan shirathal mustaqim, jalan kecil setapak selebar satu meter yang kanan kirinya adalah jurang, sebelum melangkah ke sana aku coba untuk menganalisa tingkat kesulitannya, dan tentunya berdoa agar semuanya diberikan keselamatan untuk melaluinya. Lumayan juga  melewatinya, butuh konsentrasi tinggi buat nyari pijakan kaki,intinya adalah tetap fokus dan gak liat kebelakang (soalnya kalo liat ke belakang kita pasti pengen pulang lagi he he he), lumayan menguji andreanalin juga, tapi ya bikin kesal juga karena setelahnya kita menemukan banyak puncak, plang Puncak  Rakutak, setelahnya ada plang Top Rakutak,lalu ada bacaan Puncak Utama Rakutak, jadi semuanyanya kan bertanya tanya “dimanakah puncak tertinggi Rakutak”?. Aku sendiri  sudah tidak  perduli lagi dimana puncak tertingginya , karena yang aku pikirin adalah kapan perjalanan ini akan berakhir?. Akhirnya kita berada di akhir punggungan gunung, sejenak beristirahat sambil ngeliat danau Ciharus dari ketinggian ,menurut peta yang di beri di basecamp Himpala kita harus nyampe aliran sungai yang hulu nya terdapat di danu ciharus,dan aku gak tau berapa lama dan berapa jauh untuk sampai aliran sungai itu. Setelahnya yang ada adalah turunan turunan tajam  yang membuat kita terpeleset dan jatuh, apalagi selama perjalanan kita  ditambah dengan hujan yang sangat deras dan jarak pandang yang terbatas, aku selalu mencoba untuk tetap fokus biar ga melenceng dari navigasi. Akhirnya setelah 4 jam an perjalanan turun akhirnya kita sampai di akhir turunan, hari sudah semakin sore, hujan tak juga reda, lelah dan kedinginan sudah mulai melanda, kuputuskan untuk membuat shelter sementara,untungnya masih tersisa gula, sedikit jahe dan energen dan dimasak dengan air hujan yang di tampung memakai panci, lumayan juga menghangatkan dari pada terkena hipothermia dan lagi hari itu kita belum makan siang. Perjalanan pun dilanjutkan, tak jauh dari situ akhirnya nya kita pun menemukan aliran sungai, tapi ternyata tidak sesuai dengan apa yang asa di peta, peta yang basah aku buka kembali, benar kok  gak ada yang melenceng, aku coba untuk tetap fokus dan mengingat  kembali , masih terngiang ketika dijelasin  tracknya di Himpala Rakutak “akang nanti ketemu aliran sungai, ambil jalan ke kanan, ngelawan arus sungai, nanti ketemu danau Ciharus”, aliran sungai nya sih ketemu tapi kalo aku mengambil jalan ke kanan, arus sungai ini mengarah ke kanan, dan kita mengikuti arus bukan ngelawan arus, kan hulu sungai  nya  adalah danau Ciharus, aku coba untuk tetap tenang, mungkin di depan ada sungai lagi, benar sih di depan ada sungai lagi tapi sungai itu adalah sungai yang  tadi kita lewati, sungai itu melingkar dan memutari track kita, panik pun melanda, apa ada yang aku lewatkan dengan sungai tadi, papan penunjuk, potongan tali rafia penanda?. Aku putuskan untuk kembali mundur  lagi ke sungai yang tadi ditemani oleh salah satu anggota team, di situ tubuh sudah mulai tidak kompromi untuk berlari, kedinginan pikirku. Sampai sungai lagi, bener kok gak ada penanda apa apa, coba untuk ngambil jalan ke kiri dan melawan arus tapi baru beberapa langkah semakin ke dalam sungai jalurnya semakin tidak bersahabat seakan belum pernah ada orang yang lewat situ, apalagi waktu membaca blog bahwa jalur sungai tersebut familiar, penduduk setempat selalu melalui jalur tersebut untuk menuju danau Ciharus, seharusnya ada  jalan setapak atau minimal jejak jejak langkah, tapi ini enggak, lalu pa yang salah. Aku coba untuk tenang, memejamkan mata dan berdoa untuk dimudahkan dan membuatku tepat dalam mengambil keputusan, tanpa terasa semua team ternyata  sudah berkumpul di hadapanku, wajah wajah lelah, kedinginan, dan penuh pertanyaan tersaji di depanku, sejenak kupandangi mereka, saatnya mengambil keputusan, tetap dengan tujuan danau Ciharus  dengan resiko mencari aliran sungai yang lain, melawan arus dan itu pun aku gak tau sampai jam berapa untuk sampai danau Ciharus, atau maju lagi ke sungai yang di depan dan mengikuti arus nya yang entah kemana?, dua dua nya beresiko, hari semakin sore, awan mendung masih menggantung, dan hujan rintik pun tak juga berkesudahan. Bismillah aku mengambil pilihan kedua, kembali lagi jalan ke depan, bertemu sungai dan ikuti arusnya, karena pastinya setiap sungai pasti akan menjadi sarana penghidupan dan juga  sumber irigasi penduduk,perkara danau Ciharus  kita bisa kembali lagi suatu saat nanti, toh kita sudah sampai puncak dan bagiku keselamatan seluruh anggota team adalah tanggung jawabku penuh. Alhamdulillah setelah tiga puluh menit deg deg an menerka  jalan di antara gerimis, kabut dan jarak pandang yang terbatas, tapi akhirnya ada yang membuat ku gembira,iya ,aku menemukan ladang brokoli, dan kalo sudah bertemu ladang, tentunya akan bertemu petani, dan kalo ada pak tani tentunya pasti ada perkampungan. Aku menemukan jejak langkah sepatu dan ban motor dan aku semakin yakin kalo jalan ini menuju perkampungan, dan benar saja akhirnya aku bertemu dengan orang yang baru pulang dari berladang, mereka bilang bahwa perkampungan masih lama dan jauh di bawah sana, saat itu aku berpikir bahwa waktu dan jarak bukan hal yang penting lagi, kalaupun kita kemaleman yang penting kita bisa tidur di rumah penduduk. Benar saja, sekitar ashar baru kita sampai perkampungan terdekat tadi, kalo di estimasi sejak awal pemberangkatan , kita telah menghabiskan waktu sekitar tujuh jam-an untuk perjalanan pualang ini, luar biasa. Setelah sampai perkampungan  dan bertanya tanya ternyata kota yang paling dekat adalah Majalaya, kalo berjalan kaki sekitar dua jam an, gak mungkin pikirku, kita gak akan bisa jalan lagi sekuat itu,bagaimana solusi nya, aku liat ada sebuah pick up terparkir di garasi, setelah nego nego sedikit dan akhirnya deal harga  akhirnya kita menyewa pick up itu ke Majalaya, walaupun dengan pakaian yang berlumpur, kehujanan tapi akhirnya kita bisa duduk manis di pickup , gak lupa sepanjang perjalanan selama di pickup kita selalu bercanda dan tertawa,mungkin karena gembiranya kita bisa keluar dari gelapnya rimba dan  bertemu dengan peradaban kembali he he. Sampai di Majalaya kita pun naik angkot menuju Cileunyi, syukurnya lagi setelah di nego nego ternyata sopirnya mau nganterin kita langsung ke sekolah, lagi lagi perjalanan ini dipermudah, alhamdulillah Ya Allah.Rakutak,gunung 1922 MDPL yang bikin panik,ngegemesin tapi ngangenin,insyaAllah we’ll be back again….


break pertama di kandang sapi setelah pinggir perkampungan


 beberapa kali menyeberangi sungai 


diberi suprise  tanjakan "sopan" sebelum POS I,mantabs


berjalan meninggalkan POS I


tanjakan sadis menuju puncak


dikira sampai Puncak II,ternyata hanya sampai Tegal Alun(sementara tenaga sudah terkuras habis)


diberi sunset setelah Pos Tegal Alun yang memberikan kita semangat untuk melanjutkan ke Puncak II


di Puncak II


dibelakang view "jembatan sirhatal mustaqim" yang harus kita lewati untuk sampai Puncak Utama Rakutak


view kawah kamojang dan gunung Cikuray Garut yang di ambil dari Puncak II


"jembatan shiratal mustaqim",bismillah...



TOP RAKUTAK


bertemu plang "Top Rakutak" lagi (jadi puncak yang tertingginya ga tau yang mana hehehe)



selfi dikit boleh yaaa :D


Danau Ciharus dari kejauhan


foto yang di ambil beberapa menit sebelum akhirnya menemukan perkampungan penduduk



foto ketika di puncak II

Senin, 08 Februari 2016

Manglayang, 3-4 Oktober 2015

Pendakian Manglayang, 3-4 Oktober 2015



Pendakian Manglayang kali ini mengingatkan  dengan  pendakian   tahun lalu. Masih teringat  tahun kemarin,  kita diberi  hujan rintik rintik , naik dari bumi  perkemahan Batu Kuda Cileunyi   dan  jam sebelas malam  perjalanan kita akhiri dengan ngecapm di puncak “Geje”  karena posisinya di antara puncak utama dan puncak bayangan, dan pada pagi hari  itu aku harus melupakan ritual wajibku  untuk membuat kopi   karena  tidak ada air yang tersisa, dan pada saat pulang  kita pun tidak melewati   puncak Bayangan yang justru itu jadi target buruan kita buat melihat view dan selfi dengan background  kota Bandung   (huffh).Tapi apapun itu ambil hikmahnya, tapi tetap aku  masih penasaran dengan view  kota  Bandung yang ditawarkan  oleh  Manglayang di puncak Bayangan, berbekal penasaran dan  hasrat yang tak tertahankan dan lebih belajar lagi memahami tracknya dari google, akhirnya  acara warming up (acara nya eskul wanarana (fotografi dan pecinta alam SMKUT PGII) yang aku pimpin akhirnya memutuskan untuk   tracking lagi ke Manglayang , bagiku mungkin ini akan mengembalikan kenangan tahun lalu, mencari kepingan hati yang dulu sempat tertinggal di gunung ini. Setelah cipika cipiki dengan  si kecil Raya, jam 06.00 pagi aku  berangkat dari rumah, tujuan pertama adalah ke terminal Cicaheum  untuk mencari   angkutan kota terlebih dahulu, Alhamdulillah  dapat , bahkan dua angkot sekaligus  (walaupun agak  takjub juga dengan si bapak sopirnya  walau udah tua tapi tatonya mantab (inget umur ya pak:D, sholatnya gimana?, tapi terserahlah itu Hablumninallah, hubungan manusia dengan Khaliknya, toh manusia selalu diberi kebebasan untuk memilih). Sampai sekolah  murid murid  sudah menunggu dengan tidak sabar, biasa dengan “aktivitasnya yang super dinamis” nya masing masing (dan aku baru sadar bahwa pada pagi itu  tiba tiba sekolahku berubah menjadi Pasar Baru ). Setelah  sedikit  dipusingkan  dengan cek barang dan ngabsen anak anak akhirnya  jam 07.30 kita berangkat. Perjalanan lancar,di Kiara Payung Jatinangor  pagi itu  dipenuhi  para “gowes-er”  yang sedang  berjuang menaklukan tanjakan dan inilah rutinitas setiap akhir pekan di daerah ini. Angkot akhirnya berhenti di belakang Kiara Payung dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan berbatu berdebu tetapi di kiri dan kanan kita bisa melihat  kontrasnya hijau pohon  dan birunya langit. Ditengah perjalanan muridku (Diki) bilang  “Pak, Diki balik lagi ya ke bawah, panci nya ketinggalan pak” ,kesalahan kecil tapi fatal,bisa bisa kita  tidak bisa makan nanti di atas dan kelaparan sampai besok, tapi syukurlah sang panci dapat terambil kembali (walaupun sang panci  sempat bete karena di cuek in  sendirian ). Tidak ada  pohon peneduh  dan pada waktu itu sedang  kemarau panjang membuat perjalanan ini terasa lama, sebagian anak anak pun ada yang sudah mengambil break  sendiri sambil duduk lemas  di pinggir jalan (untung  gak sambil nengadahin tangan). Akhirnya jam 09.15 kita nyampe di Pos awal pendakian Baru Beureum, seperti biasa kita akan disambut dengan teh hangat, mi instan , gorengan dan  juga keramahan Emak (yang punya warung) akan  mengobati perut kita yang sudah demo sambil membawa  bawa poster minta di isi.  Dapat ditebak  canda tawa dan keriuhan pun terjadi (beruntung Emak nya gak migren dan bingung kok tiba tiba warungnya mendadak kayak  jadi suasana di PAUD).


Tepat jam 10.00 menjadi start point awal pendakian kita, sebelumnya kita mengawalinya dengan berdoa terlebih dahulu (karena dengan berdoa, kita bisa mengikhlaskan niat perjalanan kita, dan karena kita pun gak tau apa yang akan terjadi di atas sana). Walaupun gunung ini adalah gunung terendah dari  gugusan gunung purba sunda (Burangrang, Bukit Tunggul, Tangkuban Perahu dan Manglayang) ternyata di awal pendakian kita sudah disuguhi track yang “sangat sopan”, dengan kemiringan 70 derajat akan membuat jantung kita berdegup kencang, napas yang terengah, lutut yang  nyeri, dan pundak yang pegal membawa beban akan langsung membuat kita down di awal pendakian ini, maka penderitaan pun dimulai. Tanah tandus dan berdebu pun akhirnya menjadi sarapan siang itu, keadaan menjadi serba salah , bila memakai masker/syal pernafasan seakan sesak , bila tidak pun rasanya kita menghirup seluruh debu yang berterbangan tertiup angin. Ada satu kejadian yang aku ingat, untuk pertama kalinya aku melihat batu berjatuhan dari jalur atas pendakian, batu batu besar  setinggi lutut menggelinding bagai longsoran karena terlepas terpijak oleh pendaki lain, beruntung batu itu keluar dari jalur lintasan 3 meter di depanku, menegangkan dan mengerikan, jadi teringat 5cm, tapi kutegaskan ini Manglayang, bukan Semeru.


Setelah break beberapa kali, jam 13.30 Alhamdulillah akhirnya kita sampai di puncak bayangan, inilah hadiah dari ketinggian 1818 MDPL itu, dan ini yang selama ini aku cari, pemandangan landscape kota Bandung, Sumedang, Gunung Geulis  terhampar bagai permadani putih di antara hijaunya pepohonan. Seluas mata kita memandang, kita dimanjakan oleh desainnya Allah yang Maha sempurna, pemandangan yang membuat kita betah berlama lama hanya untuk duduk ,terhanyut dalam kesendirian dan tidak mau terganggu oleh siapa pun. Di sinilah refleksi itu muncul dengan sendirinya, setiap hati manusia akan semakin menunduk dan jatuh terjerembab menyadari bahwa diri ini kecil, bahkan sangat kecil dibandingkan dengan ciptaan sang Khalik.


Hari itu kita habiskan dengan mendirikan tenda, makan siang di bawah pohon dan  ber selfi ria (wajib hukumnya), tapi ada satu hal yang membuat tidak nyaman, debu ada dimana mana. Ini sulit sekali kita hindari, dari memasak mi instan, air panas semuanya  bercampur dengan debu, bahkan debu pun sampai masuk kedalam tenda, jangankan berlari, melangkah perlahan pun debu debu sudah berterbangan. Tapi tetap ada yang kita syukuri, kita belajar lagi ber tayamum karena  untuk berwudhu kita tidak mempunyai ketersedia an air.


Sore menjelang, Matahari di ufuk barat mulai turun perlahan, bagai bulatan permen lollipop di atas topi caping pak tani, seperti sihir, semua orang sangat menikmati moment itu, seperti menghitung detik detik pergantian tahun , lalu apa perbedaan nya dengan kita melihat sunset sunset yang lain ,tidak ada bedanya kan?, akan tetapi sunset yang ini mungkin kita bisa melihatnya setelah kita menempuhnya dengan perjuangan dan menaklukan sebuah tantangan sehingga rasa bangga dan syukur itu tercipta dan melebur bersama semburat sang jingga. Setelah itu satu persatu pijar pijar lampu kota  mulai dinyalakan, bagai serpihan berlian memantulkan cahaya ke emasan  membuat kita menjadi semakin terdiam dalam keheningan. Semuanya berkata tanpa suara, asik sendiri, berinteraksi dengan lamunan dan imaji. Mistis sekali, indah sekali sore itu dan kita menutupnya dengan kalimat “sempurna”.


Malam pun datang, waktu seakan berhenti disini, seakan tidak ada satu pun yang ingin melihat perubahan detik jam di tangan, semuanya ingin mengalir dengan sendirinya, bernyanyi , curahan hati, bercerita tentang kenangan dan harapan. Tanpa kita sadari ternyata  lahan kosong disekeliling kita sekarang telah terisi oleh puluhan tenda, semuanya mendadak menjadi ramai dan lagi lagi Pasar Baru berpindah lokasi ke puncak Bayangan Manglayang (susah ya nyari tempat sepi, semuanya telah terisi, di hatimu ada tempat kosong gak?). Sempat juga kenalan dengan pendaki lain, ngobrol kesana kemari, share pengalaman, berbagi kopi, seru juga bisa dapat wawasan baru, dan entah kenapa semuanya mendadak menjadi cepat akrab disini . Ini lah asik nya di gunung,  kita jadi seperti saudara di sini  dan kembali jadi makhluk sosial yang  gak bisa sendiri, mungkin karena kesamaan visi dan misi buat menikmati dan mensyukuri alam ini. Segelas kopi buat di minum bersama sama pun akhirnya menambah ke akrab an dan keceriaan suasana malam ini (beda dengan  ngopi di cafe, udah mahal, garing lagi, loe-loe, guwe-guwe, kayak sticker yang sering ditempel dibelakang motor ”motor aing kumaha aing” (ini ngomong apa sih)). Oya, Menjelang tengah malam salah satu muridku pingsan karena asmanya kambuh dan aku harus  merelakan  tempat tidurku di tenda terpakai dan aku terkena gusur SATPOL PP jadi tidur di luar (dingin sumpeeehh)


Hari berganti pagi, semua orang menuju satu titik spot dimana  matahari akan muncul di ufuk timur, masing masing membawa perlengkapan perang sendiri, ada kacamata hitam, kamera, kertas yang di tulis in “I love you”, sampai tongkat tongsis. Dan di saat itulah matahari mendadak menjadi model background  paling laris yang dijepret oleh puluhan photographer pagi itu (bahkan saya jamin kalo ada Jupe pun pasti dicuek in, karena  matahari yang ini lebih keren dari pada matahari nya Jupe (nah lho). Setelah puas ber selfi dan menghabiskan baterai kamera akhirnya kita packing tenda  dan siap siap pulang, tidak lupa sampah sampah kita bersihkan,biar kita juga belajar untuk memahami “kalimat” nya nya para  pecinta alam (Jangan ambil sesuatu kecuali gambar, Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak langkah dan Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu).


Perjalanan turun ke start point awal kurang lebih memakan waktu 2,5 jam an, Alhamdulillah jan 10.30 kita sudah sampai di Baru beureum, tiba tiba murid ku yang baru sampai bilang “pak, si R pingsan di atas”, di antara kesal dan capek aku coba untuk membunuh ego ku, kutinggalkan tas di pos dan aku naik lagi hanya dengan membawa air minum. Di tengah perjalanan tersaji lah pemandangan, seorang anak perempuan  tengah di gendong oleh pendaki lain (perasaan campur aduk waktu itu, antara capek, kesal sekaligus memuji fisik sang pendaki (kebayang aja ,menggendong orang yang beratnya dua kali lipat dari tas carier)). Setelah mengucapkan terimakasih sudah banyak membantu, aku coba untuk menetralisir dan mensugesti bahwa dia harus bisa sampai bawah seorang diri, aku hanya ingin dia  mempunyai happy ending  sendiri, dia bisa bangga dengan dirinya sendiri, dia bisa menaklukkan dirinya sendiri , meyakinkan bahwa dia bisa, dan dia gak boleh nyerah, bahwa kita semua memang lelah tapi kita tidak pernah boleh berhenti untuk melangkah, bahwa hidup memang perlu perjuangan untuk mendapatkan sesuatu, dan itu tidak mudah dan kita berpantang untuk mengibarkan bendera putih dan mengaku kalah. Akhirnya dia bisa turun sampai Baru Beureum melalui langkah langkah kakinya sendiri, sedikit demi sedikit walaupun tertatih, pelajaran buat kita semua Its Not The Mountain We Conquer, But Our Selves -Edmund Hillary (bukan gunung yang kita taklukan,tapi diri kita sendiri). Sekali lagi, terimakasih Manglayang telah memberikan pengalaman berharga untuk kami..



Tips Manglayang :
·         Perjalanan dari ujung desa (belakang Kiara Payung) – Baru Beureum, 45 menit perjalanan kaki. Jarang ada mobil yang mau mengantarkan sampai Baru Beureum, kalaupun menaiki sepeda motor pun harus ekstra hati hati karena kondisi jalan yang berbatu dan rusak.
·         Baru Beureum (start point pendakian) – Puncak Bayangan, 3,5 jam an (perjalanan santai).
·         Puncak Bayangan – Puncak Utama Manglayang, 40 menit an (sayangnya di puncak utama tidak ada view yang bisa kita lihat karena tertutup oleh vegetasi pohon pohon rindang, plus ada makam di situ).
·         Jangan memaksakan untuk mendirikan tenda di puncak Bayangan, karena area nya cukup sempit (lebarnya sekitar 3 meter an), di kiri kanan terdapat jurang dan daerah rawan longsor.
·         Bawalah air mineral se maksimal mungkin, karena ketiadaan sumber mata air di Manglayang.




·         Nice place, Happy trip, Great picture, selamat berpetualang…